Uni Papua Football Community (Sumber: Official Website Uni Papua Football Community) Sepak Bola ternyata bukan sekedar urusan teknik...
Sepak Bola ternyata
bukan sekedar urusan teknik menyepak bulatan Bola. Sepak Bola telah begitu jauh
meninggalkan keterbatasan definisinya sendiri untuk menggapai ketidakterbatasan
makna yang melebihi sejarah dirinya.
Oleh sebagian orang,
Bola adalah dunia dan kehidupan ini. Ronaldinho, pemain yang pernah
disebut “Dewa Sepak Bola” asal Brasil pernah berujar, “I learned all
about life with a ball at my feet.”
Demikianlah bulatan Bola
dengan diameter 21-22,5 cm dan berat 410-450 gram itu sudah bertransformasi
menjadi sebuah kekuatan raksasa sehingga mampu merubah nasib seseorang dan
sebuah bangsa.
Bill Shankly bahkan mengatakan kalau Sepak Bola bahkan
jauh lebih besar dari persoalan hidup dan mati, “Some people think football
is a matter of life and death. I assure you, it's much more serious than that.”
Uni Papua FC saat menyelenggarakan event "Football For Peace" di GOR Sunter, Jakarta (Sumber: Official Instagram Uni Papua FC) |
Itulah yang
kuimajinasikan saat Pak Harry Widjaja, CEO Uni Papua FC, mengajak
saya masuk ke dalam komunitas Sepak Bola sosial ini. “Welcome to the jungle,”ungkapnya
sembari menyalamiku.
Jungle? Mungkin ada benarnya saat beliau mengatakan
Sepak Bola tak ubahnya hutan rimba. Di situ Anda bisa menemukan jalan setapak
menuju sumber-sumber air yang jernih, namun di situ juga Anda bisa terjebak
dalam semak berduri bahkan tersesat ke jalan yang menggiring Anda ke jurang
yang membinasakan.
Anda bisa menemukan
binatang jinak, sekaligus bersua dengan binatang buas. Nasib baik dan nasib
buruk, siapa yang tahu saat Anda berada dalam hutan belantara. Itulah hutan
rimba sepak bola! Anda akan berjumpa dengan mafia sekaligus pemain dengan
prestasi yang bercahaya. Anda akan menjumpai permainan culas sekaligus sportifitas.
Anda akan bertemu dengan para pemenang sekaligus pecundang.
Saya ingin mengajak Anda
untuk berkontemplasi ke daratan Yunani Kuno, sebab menurut saya, dari sanalah
fajar kebijakan tentang olahraga itu terbit. Melalui puisi-puisinya Homer,
kita bisa meneropong bagaimana masyarakat Yunani Kuno sangat menyukai olahraga.
Ini terbukti, dimana ada
orang Yunani, di situ akan dibangun sebuah kota dengan theater dan
fasilitas olahraga. Kata Yunani, “athletés” berarti seseorang yang
berkompetisi untuk mendapatkan sebuah hadiah.
Salah satu orang bijak
bestari di Yunani Kuno adalah Plato. Jika kita datang kepadanya dan
bertanya, olahraga yang baik itu yang seperti apa? Maka Plato pasti
akan merujuk kepada ajarannya tentang 3 level kehidupan.
Level kehidupan yang
paling rendah adalah kondisi jiwa yang didorong oleh nafsu lahiriah. Di level
ini olahraga dimaknai hanya soal bagaimana mendapatkan hal-hal materiil,
seperti mendapatkan piala. Apapun akan dilakukan agar bisa memenangkan
kompetisi. Hadiah materi lebih utama daripada etika.
Di level kedua, olahraga
yang baik, menurut Plato, menyangkut ranah emosional seseorang.
Olahragawan bertarung untuk mengobati kehampaan dalam jiwanya, yakni ingin
mendapatkan penghargaan dan kemuliaan. Mereka mengejar nama baik, popularitas
dan harga diri.
Level yang paling
sempurna dari olahraga, menurut Plato, adalah olahraga yang
digerakkan oleh akal (dunia ide). Di level ini, olahraga bukan lagi,
semata-mata, bersaing dengan kontestan lain. Perkara utama bagi olahragawan
bukanlah mengalahkan orang lain, tetapi mengalahkan dirinya sendiri.
Dalam pandangan Plato,
olahraga yang baik adalah olahraga yang dilakukan untuk menghampiri dunia ide
yang sempurna, yakni kepada kepuasan yang sejati. Olahraga lantas tidak lagi
terbatas pada hal-hal yang fisik, tetapi melampauinya dan menyentuh kepada
sesuatu yang bernilai kekal. Karena itu, dalam pandangan Plato,
olahraga bisa menjadi sarana untuk menggapai level manusia yang bernilai
sempurna.
Bagi Plato,
dalam setiap kompetisi justru memberi kesempatan kepada olahragawan untuk
menunjukkan Areté nya, yakni keutamaan hidupnya
berdasarkan nilai-nilai kebaikan yang ia yakini.
Dengan demikian, belajar
dari fajar kebijakan olahraga di Yunani Kuno, kemenangan atas suatu
pertandingan bukan sekedar representasi dari superioritas kekuatan
fisik seseorang, tetapi juga gambaran dari Areté atlet
tersebut.
Inilah keunggulan sejati
bagi sosok olahragawan pada zaman itu. Mereka tidak hanya ingin sekedar
mendapatkan kemenangan, tetapi juga merebut kehormatan. Karena itulah gairah
untuk bertanding (agon) begitu besar, bukan untuk menggapai yang materiil,
tetapi untuk menyentuh yang spirituil.
Itulah sebabnya
kompetisi olahraga yang pertama di Gunung Olympus disebut
"competitions for a wreath” (stefanitis agon) dan bukan
"competitions for money” (chrematitis agon)! Di dalam gairah
untuk bertanding (agon) termaktub kreativitas, penyingkapan akan
kebenaran (alethéia) dan upaya memperoleh kemenangan dan kehormatan.
Sore tadi aku duduk di
dalam lingkaran komunitas Uni Papua FC. Sembari mendengarkan
berbagai usulan untuk memajukan Sepak Bola sosial ini, hatiku meyakini bahwa
komunitas ini nampaknya sedang membangunkan Areté dalam
Sepak Bola, mengembalikan Virtue kehidupan yang sudah lama
punah dalam bulatan Bola yang menggelinding di rerumputan hijau.
Aku percaya sembari
berdoa, di tangan komunitas Uni Papua FC ini, Sepak Bola akan
menjadi, bukan sekedar urusan teknik menyepak bulatan Bola. Sepak Bola akan
jauh meninggalkan keterbatasan definisinya sendiri untuk menggapai ketidakterbatasan
makna yang melebihi sejarah dirinya. (Author: Jose Yusuf Marwoto)
SOCCERPEDIA.id
- all things about soccer
(kanal berita kekinian
dengan sudut pandang jaman now)
COMMENTS